Aku benci puisi dan filsafat
Suratmu sudah kuterima diandraku.. Dua lembaran dengan fragmen singkat tentang hidupmu, cintamu, kemarau di atas langitmu, harapanmu, dan sebaris kalimat dengan tanda seru; “Aku benci puisi dan filsafat”. Kalimat itu kubaca di pojok lembaran yang hampir saja kulewatkan andai saja tidak kau bedakan warnanya.
Kukatakan kali ini padamu diandraku, akupun lebih tidak menyukai keduanya. Tapi keduanya telah memberiku satu tempat di mana aku bisa berteduh dari rasa pongah dan angkuh. Filsafat, setelah bertahun bersahabat, telah mengajarkan bagaimana menunda penilaian. Pada diriku, dirimu, dan seluruh keberadaan yang tentu saja menolak angka yang buruk. Sebab penilaian itu dominasi. Itu perbudakan, diandra.. Sedang semua yang kutemui ingin merdeka. Pun itu dari sekadar rasa percuma. Mereka yang terbiasa hidup dengan persepsi dan angka, pada akhirnya tidak pernah bisa setia. Padahal hidup terkadang membutuhkannya. Bayangkan itu. Bayangkan jika cintaku timbul karena satu alasan yang kan hilang jika kau berubah pikiran. Bayangkan jika kita yang takluk dalam usia yang nyinyir harus hilang cinta karena rubah penilaian oleh keadaan yang getir. Aku tidak menginginkan cerita seperti itu, diandra.. Kalimat hidup tanpa kata setia hanya berbuah ungkapan katarsis. Dan itu bisa membuat aku terus memandangmu dengan sorot yang sinis. Karena itu, diandraku, aku memilih berfilsafat, pun itu harus keluar dari tabiat, norma, dan adat. Sebab aku ingin belajar setia seperti tutur Levinas tentang diakonia. Kesetiaan menuntut kepasrahan dalam melayani, dan itu berarti aku bisa sedikit rendah diri. Kesetiaan menjadikan kamu di hadapku begitu manusia, dan itu berarti aku harus siap terluka. Tapi aku memilih demikian, diandraku..
Puisi pun begitu, meski tidak semuanya aku setuju. Puisi telah mengajarkan bagaimana menghentikan ketergesaan dan memperlambat langkah. Dan itu bagiku perlu untuk nuansa zaman yang menuntut kita tak mengenal arti lelah. Sedang aku dan kamu bukan batu. Bahkan laut sesekali tidak berombak agar karang bisa bernyanyi. Tapi aku tetap tidak menyukai puisi, karena itu aku tidak menuliskannya. Juga karena ketidakmampuanku memahami jeda waktu.
Mungkin kau membenci penyair sebab mereka terlalu sulit untuk rendah diri. Kukatakan padamu, diandraku, penyair yang besar tidak lantas puisinya membuat kita bergetar. Mereka yang tidak memahami arti jeda dalam tulisan adalah mereka yang tidak mengerti akan kesetiaan. Mereka yang berebut aksara dan menawarkannya bak penjual asongan adalah mereka yang tidak sempat mengenal sehelai daun yang jatuh di pekarangan. Mereka terlanjur buta oleh hasrat untuk memberi batas pada realitas. Mereka tidak mampu mendengar bisik angin di sudut malam, karena mereka tidak terbiasa memilih diam. Sebab itu diandra, aku hanya harus berterimakasih kamu tidak menyukainya..
Inilah jawabanku atas suratmu diandra.. Aku hanya ingin dengan puisi aku mampu berjeda hingga parasmu utuh di pelupuk mata. Aku ingin dengan filsafat mematahkan batas nilai dan angka, agar aku bisa membawamu apa adanya. Dan aku ingin keduanya, lalu berharap aku setia..
0 komentar:
Posting Komentar