0

bau kematian dan cinta dalam sajak-sajak sapardi

Rabu, 04 Desember 2013
Share this Article on :

Bau Kematian dan Cinta Dalam Sajak-sajak Sapardi


Oleh: Nita Nurhayati

Bau Kematian dan Cinta dalam Sajak-sajak Sapardi Oleh: Nita Nurhayati Membaca buku kumpulan puisi berjudul Hujan Bulan Juni yang ditulis Sapardi Djoko Damono membuat saya terperangah, karena saya lebih dulu mengenal Sapardi yang romantis lewat musikalisasi puisinya yang berjudul Aku Ingin. Menurut saya puisi liris ini sangat romantis. Begitu pula dengan sajak lain berjudul Ketika Jari-Jari Bunga Terluka, Hutan Kelabu dalam Hujan, Hujan Bulan Juni, dan sajak Sapardi lainnya yang bernafaskan cinta. Tetapi, ini tidak terjadi ketika saya membaca halaman awal antologi puisi Hujan Bulan Juni. Saya langsung dihadapkan dengan bau kematian, ketika membaca sajak yang berjudul Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati. Hal ini mencekam batin saya dan langsung merobek pikiran saya tentang Sapardi yang identik dengan cinta. Dalam sajak Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati, saya menemukan pikiran Sapardi yang menyentuh aspek iman. Tentang keyakinan seseorang terhadap kematian, bahkan tentang kuasa Tuhan yang pasti akan menghidupkan dan mematikan makhluknya. Puisi ini mengisahkan tentang seorang penjaga kubur yang mati, dan Sapardi seperti ingin menyingkap sebuah tabir kehidupan seseorang dengan satus sosial yang berbeda. Sapardi mengibaratkan bumi sebagai ibu yang baik – diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk. Kematian bagi Sapardi tak memandang status sosial, siapapun yang hidup akan merasakan mati. Seperti halnya bangkai binatang; pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek – sama saja; dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. Dari bait tersebut seolah Sapardi ingin membuka mata pembacanya bahwa memang tak ada yang abadi, pangkat atau jabatan tidak akan di bawa mati.

Hal lain yang membuat saya merinding adalah ketika membaca bait terakhirnya: lelaki tua yang rajin itu mati hari ini, sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri. Bait terakhir ini memberikan pesan bagi pembaca bahwa sehebat apapun orang hidup di dunia, jika mati pasti akan membutuhkan orang lain. Meskipun ia seorang penjaga kuburan tetapi saat kematiannya, tak ada yang bisa dilakukan untuk menolong dirinya sendiri. Ihwal kematian juga terdapat dalam sajak yang ketiga berjudul Berjalan di Belakang Jenazah, sajak ini menyiratkan betapa kematian itu datangnya tiba-tiba, tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia. Berbicara tentang kematian, jadi teringat tentang nasihat bahwa maut, rejeki, dan jodoh di tangan Tuhan. Jadi, jika Allah sudah berkehendak, Kun Fayakun maka jadilah. Kemudian orang-orang yang ditinggalkan dalam kematian hanya mampu berkata kehilangan. Seperti sebuah prosesi pekuburan, Sapardi juga menulis sajak yang berjudul Sehabis Mengantar Jenazah yang mendeskripsikan tentang rasa kehilangan teramat dalam dan penyesalan akan kenangan dengan seseorang yang telah meninggal dunia. Hujan pun sudah selesai sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja. Membaca tema kematian ini membuat jantung saya berdebar dan jadi tak nyaman. Bukan karena takut pada kematian, saya percaya kematian itu akan datang. Hanya, bayang-bayang kesendirian dan kesepian itu menghantui saya dengan berbagai pertanyaan apakah saya sudah siap menghadapi kematian? Karena kematian itu datangnya tidak terduga, bisa kapan saja dan di mana saja. Inilah keberhasilan Sapardi yang menurut saya mampu membuat pembacanya menjadi termenung tentang tafsiran kata-kata dalam puisinya. Tema kematian juga kental dalam puisi Sapardi berikutnya berjudul Dalam Sakit dan Ziarah. Selain tema kematian, Sapardi lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Terdapat tiga judul puisi Dalam Doa dalam kumpulan puisi ini. Saya seperti masih terseret ke dalam tema ketuhanan ketika beranjak pada tema berikutnya. Simak puisi berjudul Tuan berikut. Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar. Sajak ini sangat singkat dan ironis, banyak orang menganggap seseorang sebagai Tuhan. Sebut saja hakim dapat menjelma Tuhan ketika memutuskan hukuman mati bagi terdakwanya, atau para bawahan yang menuhankan atasannya. Sajak yang ditulis tahun 1980 ini membuat kita tertawa geli bahwa sesungguhnya Tuan memang bukan Tuhan.

Setelah membaca puisi bertema ketuhanan, pembaca seolah diajak untuk masuk dan menemukan dirinya sendiri, bergelut dengan perasaan cinta, rindu, dan segala hal yang berkecamuk dalam dada. Semisal sajak berjudul Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, pada puisi ini di sebut dua kali kata cinta. Entah cinta Kita yang dimaksud cinta pada manusia atau cinta pada Tuhan karena dituliskan dengan huruf K kapital. Puisi berikutnya berjudul Hutan Kelabu dalam Hujan, dalam puisi ini memang sudah cukup jelas bahwa Sapardi sedang bicara tentang cinta. Puisi ini mengibaratkan tentang betapa dalamnya kerinduan seseorang terhadap kekasihnya, lalu kembali kusebut kau pun kekasihku, langit di mana berakhir setiap pandangan bermula kepedihan, rindu itu. Dari sinilah saya bisa belajar tentang “sebuah hal” dalam puisi dengan maksud tersembunyi. Jika yang biasa kita ketahui tentang seseorang yang rindu kepada kekasihnya dengan mengucapkan kata rindu secara langsung, tetapi Sapardi membalut rindu itu dengan sedemikian romantis. Rasanya mustahil jika metafor hutan sebagai hati manusia yang sedang gelisah. Kita bisa mengambil padanan kata hutan semisal rimba yang berbahaya, dalam hal ini seorang manusia seolah bergulat dengan perasaannya sendiri. Begitu pula metafor hujan, hujan diibaratkan sebagai pengharapan, apapun yang disentuh hujan tentu akan basah. Salah satu faktor mengapa hutan dapat dikatakan lebat karena disiram hujan. Dengan demikian, hujanlah yang jadi pengobat kerinduan hati.

Setiap cinta yang sudah diresmikan maka akan ada perkawinan, dalam Sajak Perkawinan, betapa unik Sapardi mendeskripsikan hubungan intim. Perhatikan sajak berikut. cahaya yang ini, siapakah? (kelopak-kelopak malam) kaki langit yang kabur dalam kamar, dalam persetubuhan. butir demi butir (Kau dan aku, aku serbuk malam) tergelincir menyatu. Inilah hebatnya penyair, dapat mendeskripsikan sesuatu yang senonoh dengan sangat puitik. Sapardi mengibaratkan persetubuhan dengan kelopak malam, butir demi butir, dan serbuk malam. Proses biologis ini jadi tampak unik dan estetik.

Puisi hadir dari hasil kontemplasi, beberapa puisi juga mengisahkan tentang pertanyaan dalam diri. Contohnya sajak Dalam Diriku, bertema tentang pencarian jati diri: dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya! dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya. Saya percaya bahwa kata-kata memang mencerminkan pemikiran seseorang yang berkata. Sebuah kebalikan antara hidup yang indah dan menangis. Bukankah ketika menikmati hidup yang indah kebanyakan orang tertawa, tetapi aku dalam puisi ini menangis sepuas-puasnya. Kadang memang ada yang menangis karena bahagia, tapi saya kira bukan ini yang Sapardi maksud. Sesuatu yang indah dapat dikatakan indah, dan sesuatu yang indah tidak pula selamanya dapat dikatakan indah. Takdirnya dalam hidup adalah, apabila ada tangis maka ada tawa, jika ada sesuatu yang indah pasti ada juga yang buruk. Namanya juga hidup, jika selamanya indah tentu akan terasa monoton, tetapi ketika ada kabut pelahan maka itulah yang disebut hidup yang indah. Sajak Sapardi yang paling popular berjudul Aku Ingin, selain sudah ada musikalisasi puisinya, sajak ini juga sering dijadikan kata-kata indah yang tercantum di surat undangan pernikahan atau bahkan digunakan ketika seseorang menyatakan cinta pada kekasihnya. Cinta yang tak terukur ini membuat cinta memang tak bisa diwujudkan dengan apapun sehingga Sapardi mengibaratkan dengan kesederhanaan. Menyatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sederhana dengan kesederhanaan. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Menurut Maman S Mahayana (Kompas: 29 Maret 2009) bahwa dalam kesederhanaan, puisi Sapardi kaya tafsir. Itulah yang membuat puisinya mampu melahirkan pentas baru, entah dalam bentuk lagu, musik, atau monolog.

Demikianlah apresiasi saya tentang sajak Sapardi. Membaca buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni seolah saya diajak mengenal Sapardi lebih dalam. Seperti memasuki ruang pikirnya yang bergulat dengan diri sendiri, Tuhan, Kematian, cinta, dan realita sosial. Beginilah cara Sapardi merespons kehidupan yang hadir di sekelilingnya. (*)

Sumber: Damono, Sapardi Djoko. 2009. Hujan Bulan Juni. Ciputat: editum.


Pernah diposting di rumahdunia.net pada 02 April 2011 - 21:35   (Diposting oleh: Rumah Dunia)
 


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar